31 Desember 2020

Akhir 2020, SEKBER Bedulur Galek Berbagi

Liputansumsel.com


MUBA,liputansumsel.com-Mengakhiri tahun 2020 dan memasuki tahun 2021, Sekber Bedulur Galek Berbagi kepada para warga yang tidak mampu di Kecamatan Sekayu. 


Hal ini disampaikan langsung oleh Dewan Pembina Ardiansyah Iyank, sekber yang telah dibentuk terdiri dari 36 Media, Ormas dan LSM ini sebagai sarana komunikasi dan silaturahmi untuk menciptakan sebuah ide kreatif yang berdampak pada kebermanfaatan buat kemajuan kabupaten musi banyuasin. 


Kegiatan berbagi ini yang akan kami laksanakan secara kontinyu di 15 kecamatan bentuk solidaritas kami untuk masyarakat muba yang kurang mampu dan terdampak pada pandemi covid 19 ini. 


Sementara, Ariansyah putra selaku ketua IWO muba dan kabiro media linksumsel.com kab.muba mengatakan "alhamdullilah hari ini kita bersama Bedulur Galek bisa bersinergi melaksanakan kegiatan peduli sesama bersama kantor sekretariat bersama mau pun media yang berpartisipasi dalam kegiatan sosial ini.


"Insya allah kegiatan ini akan kami lakukan rutin bersama bedulur galek dan Sekretariat bersama supaya bisa membantu meringankan beban masyarakat di tengah pandemic covid19, dan tidak lupa kami panjatkan do'a kepada Allah Swt dalam tahun 2021 nanti semuanya akan menjadi jauh lebih baik dan masa pandemic ini bisa berlalu, amin,jelas Ariansyah.

Ribuan Miras di Musnahkan Oleh SatPol-PP Lahat

Liputansumsel.com


LAHAT, liputansumsel.com - Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Kabupaten Lahat Musnahkan Ribuan Botol Minuman Keras Berbagai Jenis Yang Bertempat di Halaman Kantor SatPol-PP Lahat, Ribuan Miras Tersebut Merupakan Hasil  Dari Razia Operasi Penyakit Masyarakat (OPM) Yang di Lakukan Semasa Tahun 2O20, Kamis(31/12).

Berjumlah kurang lebih 1.220 botol Miras berbagai jenis dimusnahkan dan dalam kegiatan tersebut nampak di hadiri oleh Wakil Bupati Lahat H. Hariyanto, Sekda Lahat, Drs.H.Deswan Irsyad, Dandim 0405/Lahat Letkol Kav Shawaf Al Amein SE, Kapolres Lahat AKBP Achmad Gusti Hartono SIK, Densub Denpom Kapten Jen Masri, Kasat Sabhara AKP Afri, Kaban Kesbangpol H.Surya Desman, Perwakilan Dishub dan Dinas Kominfo serta Dinas Perdagangan.

Kasat Pol-PP Fauzan Khoiri Denin AP,MM menjelaskan segala jenis minuman keras tersebut tidak mempunyai izin serta dinilai berpontensi mengganggu keamanan dan ketertiban yang dapat meresahkan masyarakat, selain itu peredaran miras di tengah masyarakat bisa merusak generasi muda karena dijual dengan bebas maka itu sering dilaksanakan razia yang disebut OPM.

“Kegiatan ini salah satu tujuan untuk menyelamatkan anak cucu sebagai generasi muda bangsa kita, karena miras ini awal penyebab terjadinya ganguan kamtibmas”, bebernya.

Dalam hal ini Fauzan juga menyampaikan “OPM berupa minuman keras itu rutin dilakukan petugas selama pandemi COVID-19 dengan memeriksa warung-warung kecil, distributor dan tempat-tempat hiburan”.

Wakil Bupati Lahat H. Haryanto dalam sambutannya berharap “miras tidak ada lagi diwilayah Kota Lahat dan saya sangat mengapresiasi kinerja SatPol-PP Lahat, ini pencapaian luar biasa yang tak lepas dari dukungan semua pihak”.

“apa yang telah dilakukan SatPol-PP Pemkab Lahat dalam mencegah peredaran miras cukup memuaskan dan pemusnahan segala miras ini sebagai wujud menjaga ketertiban masyarakat serta mewujudkan Lahat bercahaya”, pungkasnya.[Nasa]

Prestasi Gemilang, DPMPTSP Muba Capai PAD Hingga Rp 6 Milyar Lebih

Liputansumsel.com


MUBA,liputansumsel.com-- - Capaian Akhir Tahun 2020, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) membuat Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp. 6.402.977.443,- (Enam Miliar Empat Ratus Dua Juta Sembilan Ratus Tujuh Puluh Tujuh Ribu Empat Ratus Empat Puluh Tiga Rupiah).


Capaian tersebut melampaui target yang sebelumnya diperkirakan sebesar Rp. 4.000.000.000,- (Empat Miliar Rupiah). Target yang terlebihi ini membuat peningkatan yang signifikan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten Musi Banyuasin.


Diketahui peningkatan PAD yang dihasilkan ini berkat kerjasama dan kekompakan yang diciptakan jajaran DPMPTSP. Dengan demikian ini menjadi kado manis pada akhir tahun 2020.


Menurut Kepala Dinas PMPTSP kabupaten Musi Banyuasin Erdian Syahri SSos MSi mengatakan, ini suatu motivasi bagi kami untuk menghadapi tahun berikutnya. Karena di tahun berikutnya target kita akan jauh lebih besar.


" Pencapaian ini adalah pemacu semangat kami untuk menghadapi tahun berikutnya, semuanya tidak lepas dari kerjasama yang baik serta ketertiban Masyarakat dalam memulai Perizinan untuk memenuhi Prosedur yang ditetapkan," ucap Erdian.


Dilanjutkannya, PAD yang meningkat ini berasal pembuatan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang. Sebelumnya target kita hanya Rp. 4.000.000.000,- (Empat Miliar Rupiah) dan ini capaian kita sudah melebihi target.


" Izin yang telah kita Realisasikan sudah sebanyak 6.402 jauh melewati target pada tahun sebelumnya. Kami ucapkan Alhamdulilah dan terima kasih kepada seluruh Jajaran DPMPTSP kabupaten Musi Banyuasin, semoga di tahun berikutnya kita dapat kembali meningkatkan PAD kita," harapnya.

Paksa Keponakan, Adut di Amankan Polisi Musi Rawas Utara

Liputansumsel.com


MURATARA, liputansumsel.com - Kelakuan Yang Tak Terpuji Oleh Seorang Paman di Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) Provinsi Sumatera Selatan, Paksa Keponakan Sendiri Yang Berusia 9 Tahun, Untuk Menyentuh Bagian Sensitif di Tubuhnya.

Adut (32) Pria yang sudah memiliki istri tersebut tak berkutik saat polisi mengamankan dirinya dari amukan warga.

Pemicu amukan dari warga tersebut diduga Adut melakukan pelecehan seksual terhadap keponakannya sendiri yang berusia 9 tahun, dengan wajah yang sudah babak-belur Adut lalu diamankan ke Mapolsek Muara Rupit Kabupaten Muratara.

“Terlapor kita tangkap tadi malam,” kata Kapolres Muratara, AKBP Eko Sumaryanto pada konferensi pers, Rabu (30/12/2020).

Kapolres Muratara menjelaskan, Adut dilaporkan oleh keluarganya karena diduga melakukan pelecehan seksual terhadap keponakannya sendiri, menurut pengakuan si pelaku memaksa keponakannya memegang bagian sensitif kemaluannya atau beronani, setelah itu Adut mengancam korban untuk tidak memberitahukan kepada keluarganya.

Korban akhirnya menceritakan perbuatan Adut kepada keluarganya hingga diketahui warga lain, warga yang tak mampu membendung emosi lantas memberikan pelajaran terhadap Adut hingga babak belur.

Kejadian tersebut bermula dilakukan Adut bertempat di rumah korban di wilayah Kecamatan Rupit, Adut datang ke rumah korban saat Ibu korban sedang pergi ke pasar.

Waktu dan motif pelaku melakukan pelecehan tersebut masih didalami polisi,“Untuk waktu kejadiannya, motifnya, sudah berapa kali, masih kita dalami, tapi kata pelaku baru sekali,” jelas Kapolres Muratara.

Dan kini pelaku telah ditahan di sel Mapolres Muratara untuk menjalani penyidikan lebih lanjut, sementara kasusnya tersebut ditangani Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Satreskrim Polres Muratara. [Nasa]

PROGRAM RE-INTEGRASI PEMBEBASAN BERSYARAT

Liputansumsel.com

 PERAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN (PK) TERHADAP ANAK

YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM DALAM MEMPEROLEH

 





                                                               OPINI

Penulis : CANDRA, S.H. ( PK Muda Bapas Kelas  I Palembang)


Saat ini perbuatan melanggar hukum tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa saja, akan tetapi juga yang dilakukan oleh anak-anak semakin meningkat. Fenomena meningkatnya perilaku tindak pidana oleh anak, seolah-olah bahwa kejahatan atau tindakan melawan hukum dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa melihat usia. Kejahatan atau tindakan melawan hukum yang dilakukan seperti pembunuhan, pencurian, narkoba dan lain sebagainya, yang dimana sering dilakukan oleh orang dewasa. Penyimpangan perilaku atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor ekonomi, teknologi sosial maupun keluarga.

Merujuk dari Kamus Umum Bahasa Indonesia mengenai pengertian anak secara etimologis diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa pengertian tentang anak menurut peraturan perundang-undangan, begitu juga menurut para pakar ahli. Namun di antara beberapa pengertian tidak ada kesamaan mengenai pengertian anak tersebut, karena di latar belakangi dari maksud dan tujuan masing-masing undang-undang maupun para ahli. Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kemudian menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Batasan umur anak tergolong sangat penting apalagi dalam perkara pidana anak, karena dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang di duga melakukan kejahatan termasuk kategori anak atau bukan. Mengetahui batasan umur anak juga terjadi  keberagaman di berbagai Negara yang mengatur tentang usia anak yang dapat di hukum.

Sistem pemasyarakatan mempunyai peran strategis dalam mengembalikan seorang klien anak maupun dewasa menjadi manusia yang utuh dan tidak mengulangi pelanggaran hukum, hal ini dapat kita lihat dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sementara itu dalam Pasal 2, Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas: perlindungan, keadilan, nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya anak, pembinaan dan pembimbingan anak, proposional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, penghindaran pembalasan. 


Pelaksanaan pembinaan di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) diperlukan adanya suatu program agar proses pembinaan dapat tercapai. Sedangkan pembinaan yang ada diluar Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di laksanakan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang dalam pasal 1 ayat 4 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menyatakan bahwa Balai Pemasyarakatan (BAPAS) adalah suatu pranata untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan. Menurut pasal 1 ayat 13 Peraturan Pemerintah (PP) No. 03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat menyatakan bahwa Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut klien adalah seseorang yang berada dalam bimbingan Balai Pemasyarakatan (BAPAS).


Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Jabatan Fungsional Pembimbing Kemasyarakatan mendefinisikan bahwa Pejabat Fungsional Pembimbing Kemasyrakatan adalah PNS yang diberikan tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melaksanakan kegiatan di bidang bimbingan kemasyarakatan. Selanjutnya dalam angka 7 dijelaskan lebih lanjut bahwa bimbingan kemasyarakatan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan dalam menangani klien pemasyarakatan yang meliputi : Penelitian Kemasyarakatan, Pendampingan, Pembimbingan, Pengawasan, dan sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Dalam pelaksanaannya, Pembimbing Kemasyarakatan koordinasi dengan instansi terkait, diantaranya pekerja sosial, pekerja sukarela dan lain sebagainya dalam hal melakukan pengawasan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).


Pembebasan Bersyarat (PB) dapat diberikan kepada Anak yang sedang menjalani pidana penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) yang telah memenuhi syarat telah menjalani masa pidana paling sedikit 1/2 (satu per dua) masa pidana dan berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 3 (tiga) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 1/2 (satu per dua) masa pidana. Pembebasan bersyarat tersebut merupakan bagian dari fungsi Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan salah satu dari bagian peradilan pidana Indonesia, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.


Syarat penyusunan rekomendasi pembebasan bersyarat (PB), yakni :

Hasil evaluasi pelaksanaan program pembinaan tahap asimilasi hasil litmas dan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP).

Warga Binaan Pemasyarakatan secara nyata telah menunjukan perubahan perilaku yang baik, tercatat dalam buku atau kartu pembinaan, dan dibuktikan dengan surat keterangan berkelakuan baik, serta tidak pernah tercatat dalam Register F paling sedikit 9 (Sembilan) bulan terakhir.

Warga Binaan Pemasyarakatan menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan melakukan tindak pidana lagi yang dinyatakan dalam surat pernyataan bermaterai cukup.

Telah memenuhi syarat substantive dan administrative.

Kesedian Warga Binaan Pemasyarakatan untuk mematuhi syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus yang ditentukan oleh PK, dibuktikan dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh yang bersangkutan diatas materai yang cukup dan diketahui PK.

Penanggung jawab memiliki alamat tempat tinggal yang jelas dan benar,dibuktikan dengan keterangan domisili yang dikeluarkan oleh Lurah / kepala Desa  setempat, KTP dan atau identitas kependudukan yang sah.

Lingkungan masyarakat tempat tinggal klien selama yang bersangkutan menjalani PB dinilai baik dan kondusif, dan tidak keberatan menerima kembali klien dibuktikan dengan pernyataan RT/RW/Lurah/Kepala Desa bermaterai cukup.

Surat pernyataan dari pinjaman atau penanggung jawab Warga Binaan Pemasyarakatan dan ditanda tangani diatas materai yang cukup dan diketahui PK.

Kesanggupan klien mematuhi syarat-syarat khusus (pembimbingan dan pengawasan) yang ditentukan oleh PK Bapas yang dinyatakan dalam surat perjanjian pembimbingan dan pengawasan yang dibuat sebelum memberikan persetujuan/rekomendasi PB.


Dalam pelaksanaan pembebasan bersyarat bagi seorang narapidana anak disadari perlunya bimbingan yang harus tetap dijalankan mengingat pembebasan bersyarat dapat di katakan sementara sifatnya karena apabila ada terjadi pelanggaran terhadap syarat umum maupun syarat khusus maka pembebasan bersyarat tersebut dapat dicabut dengan berdasarkan usulan dari pembimbing kemasyarakatan yang membimbing klien pemasyarakatan di BAPAS. Bentuk dari bimbingan yang diberikan bermacam-macam, mulai dari pemberian pembinaan tentang agama, keterampilan, sampai pada pembinaan kepribadian. Bimbingan ini diberikan bertujuan 

untuk mengubah dirinya menjadi lebih baik, bertanggung jawab agar tidak mengulangi kejahatan.


Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa peranan Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang berada dinaungan BAPAS tidak kalah pentingnya dengan instansi lainnya seperti pihak kepolisian, penyidik, pengadilan dan terkait lainnya apalagi terhadap anak yang akan mendapatkan pembebasan bersyarat. Peran pembimbing kemasyarakatan diantaranya membantu memperkuat motivasi klien, memberikan informasi kepada klien untuk membantu situasi yang ada pada diri klien, memberikan bantuan guna pengambilan keputusan, memberikan bantuan guna klien memahami situasi pembimbing kemasyarakatan, membantu membimbing tingkah laku klien, hal-hal inilah yang diharapkan dapat menghasilkan yang terbaik untuk klien sendiri sehingga dikemudian hari klien menyadari sepenuhnya atas kesalahannya dan tidak lagi melakukan atau terlibat dalam masalah hukum. 



ASSESSMENT RESIKO RESIDIVIS INDONESIA (RRI), ASSESSMENT KEBUTUHAN (CRIMINOGENIC) DAN ASSESSMENT 5 DIMENSI SEBAGAI INSTRUMEN UNTUK MENCEGAH PENGULANGAN TINDAK PIDANA

Liputansumsel.com

Penulis : Joni Ihsan


Pada dasarnya, assessment merupakan istilah lain dari kata penilaian, istilah Assessment atau penilaian sendiri sangat dekat dengan istilah evaluasi yang merupakan metode untuk mengetahui hasil dari sesuatu yang akan dinilai. Assessment atau penilaian ini bisa disebut sebagai penerapan dan penggunaan berbagai cara dan alat untuk memperoleh baragam informasi. Informasi yang dimaksud tergantung dari siapa objek yang akan kita assessment, misalnya assessment kesehatan objeknya adalah pasien, maka informasi yang diinginkan adalah informasi mengenai riwayat kesehatan penderita, riwayat kesehatan keluarga penderita atau bahkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan penyakit keturunan.

Assessment Risiko dan Assessment Kebutuhan dilaksanakan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (disingkat WBP) dan klien pemasyarakatan yang melakukan tindak pidana umum dan tindak pidana khusus (kecuali tindak pidana asusila, KDRT, korupsi dan terorisme karena diperlukan assessment lanjutan dengan menggunakan instrumen asessment yang khusus agar validitas penilaian lebih dapat dipertanggungjawabkan). Instrumen Assessment Risiko (Risiko Residivis – Indonesia (RR-I)) dan Assessment Kebutuhan (criminogenic) Indonesia hanya diperuntukkan bagi WBP/klien pemasyarakatan sebagai objek penilaiannya.

Negara Indonesia melalui Menteri Hukum dan HAM RI mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 12 Tahun 2013 tentang Assessment Resiko dan Assessment Kebutuhan Bagi WBP dan Klien Pemasyarakatan, Assessment diharapkan dapat memudahkan PK dalam melaksanakan tugas pembimbingan sehingga dapat mencegah pengulangan tindak pidana yang menjadi tolok ukur berhasil tidaknya bimbingan yang dilaksanakan oleh Bapas sehingga membantu percepatan revitalisasi pemasyarakatan.

Melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan, jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan HAM bertekad melakukan akselerasi (percepatan) revitalisasi pemasyarakatan. Dalam peraturan Menkumham tersebut diatas, revitalisasi penyelenggaraan pemasyarakatan adalah upaya mengoptimalkan penyelenggaraan pemasyarakatan sebagai bentuk perlakuan terhadap tahanan, WBP, dan klien serta perlindungan atas hak kepemilikan terhadap barang bukti. Revitalisasi meliputi pelayanan tahanan, pembinaan WBP, pembinaan klien, dan pengelolaan barang rampasan dan benda sitaan.

Dalam upaya revitalisasi pemasyarakatan, jajaran petugas pemasyarakatan banyak menemukan tantangan dalam rangka pembinaan WBP dan pembimbingan klien pemasyarakatan. Tantangan tersebut tidak terkecuali dirasakan oleh Balai Pemasyarakatan. Salah satu tantangan yang dirasakan oleh PK adalah bagaimana melakukan assessment yang sesuai standar penilaian, baik itu assessment resiko maupun assessment criminogenic. Ketidakcakapan seorang PK dalam melakukan kegiatan assessement resiko maka akan berdampak pada tingginya tingkat pengulangan tindak pidana, begitu juga dengan assessment criminogenic yang kurang tepat akan berakibat rencana pembimbingan (case plan) yang tertulis dalam rekomendasi litmas tidak sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.

Assessment resiko yang dilakukan oleh PK dapat mengurangi tingkat pengulangan pidana dengan cara mengetahui dengan detail WBP dan klien mana saja yang mempunyai potensi besar akan mengulangi tindak pidana, yang dampak jangka panjangnya akan mengurangi over kapasitas WBP di Lapas yang berarti secara tidak langsung PK mengurangi beban anggaran Negara untuk mengurusi WBP dan Klien Pemasyarakatan. PK harus bisa mencari tahu siapa saja yang paling berpotensi untuk mengulangi tindak pidana, karena kepada merekalah sebenarnya focus pekerjaan yang prioritas, dengan merekalah PK bekerja, dengan demikian PK tidak akan menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan anggaran bekerja hanya untuk WBP atau Klien Pemasyarakatan yang berpotensi resiko rendah melakukan pengulangan tindak pidana, tetapi PK akan lebih fokus bekerja untuk mereka yang berpotensi resiko tinggi mengulangi tindak pidana.

Ketidakakuratan PK dalam melakukan assessement criminogenic mangakibat rekomendasi penelitian kemasyarakatan pembinaan awal tidak bisa memberikan rekomendasi yang tepat mengenai program pembinaan seperti apa yang tepat diterapkan kepada mereka, kebutuhan akan apa yang paling mereka butuhkan dan intervensi seperti apa yang dilakukan terhadap WBP dan Klien Pemasyarakatan. Namun sebaliknya dengan assessment yang baik dan memenuhi standar, akan berdampak pada rencana pembimbingan yang tepat guna sesuai dengan kebutuhan, jika seorang PK sudah mengetahui apa kebutuhan yang tepat bagi klien nya, maka klien tersebut akan mendapat intervensiyang sesuai dengan apa yang ia butuhkan.

Assessment resiko maupun assessment kebutuhan, merupakan instrumen bagi PK untuk menentukan pembinaan terhadap WBP yang sedang menjalani pidananya dan menentukan pembimbingan bagi klien pemasyarakatan yang sedang menjalani masa integrasinya kedalam masyarakat melalui rekomendasi Litmas. Rekomendasi litmas yang tepat sasaran, diharapkan dapat mengurangi angka pengulangan tindak pidana, oleh karena itu dibutuhkan assessment resiko dan assessment kebutuhan secara tepat dan berkelanjutan (continuitas).

Selain berfungsi untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana, assessment juga berperan sangat penting dalam mendukung percepatan revitalisasi pemasyarakatan. PK akan melakukan penelitian dan assessment awal (menggunakan instrument assessment 5 dimensi) yang akan menilai pola perilaku warga binaan pemasyarakatan yang kemudian akan menjadi penentu dalam menetapkan kategori Lapas/Rutan yang sesuai untuk warga binaan pemasyarakatan yang bersangkutan.

Melalui rekomendasi litmas awal yang menggunakan instrument assessment 5 dimensi, maka PK akan menentukan kategori WBP kedalam kategori:

1. Lapas Super Maksimum Security: Lapas yang ditempati oleh WBP yang berisiko tinggi yakni WBP yang dinilai dapat membahayakan keamanan Negara atau masyarakat. Program pembinaan yang dilakukan berupa pembinaan kesadaran beragama, bernegara, berbangsa, sadar hukum, dan konseling Psikologi yang bertujuan supaya WBP tersebut nantinya dapat dipindahkan ke Lapas maksimum security.

2. Lapas Maksimum Security: Lapas yang ditempati oleh WBP dari Lapas Super Maksimum Security yang telah menunjukkan perubahan sikap dan perilaku serta penurunan tingkat risiko. Program pembinaan yang dilakukan hampir sama dengan Lapas Maksimum Security tetapi fokus kepada rehabilitasi yang bertujuan agar WBP tersebut menyadari kesalahannya, menumbuhkan kesadaran untuk patuh terhadap hukum dan tata tertib serta peningkatan disiplin, sehingga nantinya bisa dipindahkan ke Lapas Medium Security.

3. Lapas Medium Security: Lapas yang ditempati oleh WBP dari Lapas maksimum security yang telah menunjukan perubahan sikap dan perilaku yang sadar akan kesalahan, patuh terhadap hukum dan tata tertib serta disiplin, program pembinaan yang dilakukan pendidikan dan pelatihan tingkat pemula, lanjutan, dan tingkat mahir sehingga nantinya bisa dipindahkan ke Lapas Minimum Security.

4. Lapas Minimum Security: Lapas yang ditempati oleh WBP dari Lapas Medium Security yang telah menunjukan perubahan sikap dan perilaku, peningkatan kompetensi dan kemampuan diri sesuai dengan hasil litmas dan rekomendasi dari PK.

Langkah terakhir bagi PK dalam rangka melakukan assessment adalah membuat laporan tertulis atau lisan dari Assessment Risiko dan Assessment Kebutuhan (criminogenic). Sebenarnya laporan ini bisa menjadi acuan bagi instansi lain yang ikut terlibat menangani klien misalnya Hakim dalam rangka memeriksa dan memutus perkaranya, JPU dalam rangka melakukan penuntutan di muka pengadilan dan Hakim Wasmat dalam rangka melakukan pengawasan dan pengamat terhadap WBP yang telah divonisnya serta yang paling utama laporan hasil assessment menjadi dasar untuk menetapkan rekomendasi Litmas. Laporan akan menggambarkan kelompok risiko dari penilaian, perubahan kelompok risiko dan faktor kebutuhan (criminogenic) WBP/klien, semua informasi yang terkait dengan karakteristik tindak pidana juga harus dilaporkan.

Inti dari laporan assessment RRI adalah merekomendasikan kepada pihak Lapas dan Rutan mengenai pengkategorian tingkat resiko mengulangi tindak pidana bagi WBP yang diintegrasikan ke dalam masyarakat menjadi kategori rendah, sedang dan tinggi. Rekomendasi kategori RRI sebenarnya sangat berguna jika benar-benar diterapkan, misalnya WBP kategori RRI “tinggi” tidak direkomendasikan untuk mengikuti program integrasi ke dalam masyarakat baik dalam bentuk Asimilasi, Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB) atau Cuti Menjelang Bebas (CMB). Jika rekomendasi asesmen RRI diabaikan, maka besar kemungkinan akan terjadi pengulangan tindak pidana.

Adapun inti dari asesmen kebutuhan adalah mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang dibutuhkan oleh WBP selama ia menjalani masa integrasi baik dalam bentuk Asimilasi, Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB) atau Cuti Menjelang Bebas (CMB). Kebutuhan tersebut antara lain kebutuhan akan pendidikan, keuangan, lingkungan sosial, pekerjaan dan lain-lain. Jika faktor-faktor kebutuhan ini tidak dapat terpenuhi selama masa integrasi baik dalam bentuk Asimilasi, Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB) atau Cuti Menjelang Bebas (CMB) maka besar juga kemungkinannya untuk mengulangi tindak pidana. 

Sedangkan inti laporan assessment 5 dimensi adalah merekomendasikan pembinaan kepada Lapas/Rutan terhadap WBP kedalam Lapas Super Maksimum Security, Lapas Maksimum Security, Lapas Medium Security atau Lapas Minimum Security sehingga pembina yang ada di Lapas/Rutan dapat memberi perlakuan yang sesuai dengan kategori WBP berdasarkan hasil assessment.

Dapat disimpulkan bahwa asesment yang tepat terhadap WBP baik itu assessment Resiko Residivis Indonesia (RRI), Asesment Kebutuhan (Criminogenic) maupun Assessment 5 Dimensi akan mengurangi resiko pengulangan tindak pidana oleh WBP selama menjalani masa integrasi baik dalam bentuk Asimilasi, Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB) atau Cuti Menjelang Bebas (CMB).